Translate

Selasa, 23 Oktober 2012

Love Poem for My Rose

Katup mataku terasa menganjal malam ini
Suara daun yang saling bergesekan menggugah rasaku tuk menerawang waktu
Dengan sendiri aku mengumbar senyum sedikit di sudut bibirku
Dan sesekali menggenangkan air di pelupuk mata melihat ku yang dulu
Yang tanpa seimbang berjalan mendoyong hendak jatuh tersungkur
Karena kiriku tak ada kanan
mataku tak ada kaki
Dan pikirku tak ada hati
Berjalan tanpa karuan sampai badan kerontang
Yang sebentar lagi tak bernyali dan akhirnya mati karena kesendirian
Tapi bulan tak seangkuh yang aku sangka
Yang hanya memikirkan malam tanpa peduli apa kata siang
Ternyata diapun ikut menangisi ku yang kan kaku
Mati dirundung ragu
Sejurus lalu dia menurunkan hawa
Yang memberikan tanganya tuk mengangkatku dari selokan
Dan membersihkan luka ku yang seakan membesar karena terlanjur menganga
Tak segera diusap lembut kotoran yang nan melekat
Apakabar kau?
Terimakasih untukmu
Yang telah mengangkat dan mengikat jiwaku
Yang kan mati bersamamu jika kau pun begitu
Yang khan selalu berbagi duka dan bernaung suka
Mengarung dengan biduk berdua berkayuh hati
Melagu mimpi dan angan-angan diri
Terimakasih untuk cinta yang selama ini kau beri
Terimakasih untuk transformasi diri ku yang tak kukira kukan bias
Terimakasih untuk marah mu
Terimakasih untuk tawamu
Terimakasih yang tak terkira untuk pemenang
yang kau lahirkan ke dunia untukku
Terimakasih untuk penyembuh hati itu.

Negara Boneka

Takkan berani kumemandang langit

Pandangku tertutup koper dan dasi tebal

Tangan dan kakiku terikat tali

Hati dan pikiranku tak punya kendali tuk memilih

Karena kuhanya puppet di pertunjukan boneka

Yang tak bisa menentukan sendiri scenario yang kulakonkan

Ku tak bisa berdemo karena ku tak punya suara

Tak bisa menolak karena ku tak punya Negara sendiri

“Negara Boneka”

Tak ada demo

Tak ada pembunuhan

Tak ada politik kotor

Dan tak ada orok yang dibuang sembarangan

Mereka hanya akan nurut dengan sepasang tangan

Seperti negaraku yang nurut dengan keabsolutan

Pemerintahan suatu kelompok

Dan tercipta perealisasian suatu ego

Dimana para boneka tak ada opsi

Selain menunggu dan memandang

Kehancuran rumah mereka

Sebagai aksi ajang promosi

Nilai plus untuk keindahan mata

Tapi bukan untuk mereka

Yang akhirnya kedinginan terguyur hujan

Dan hitam berkeringat kepanasan

Mahabah

Kekasihku..
kuhirup panjang asap rokok
dan menghabiskan sruputan terakhir kopiku
mencoba merasakan kenikmatan dunia terakhir kali malam ini

Cinta....
Kupanjangkan hembusan nafasku
tertanda nafas rokok dan kopi terakhir sebelum aku pergi
kuberanjak dari kursi malas
membersihkan diri tuk menemui kekasih hati

Sayang...
aku tak pandai merangkai kata-kata cinta
syairku selalu tajam dan ngeri
penggambaran akan kehidupan yang semakin kejam
perlukisan tangis, amarah, dan kesedihan

Tapi cinta tetaplah cinta...
kan kucoba romansa tuk merasuk jauh kedalam hati
mengubah hitam hatiku menjadi merah kembara
melapisi bibirku biar basah dan tak lagi pecah
dan mempercepat detak jantungku seolah berdebar kencang

Kuganti baju kusamku dengan yang terbaik kumiliki
kubasuh seluruh kotoran yang melekat
agar kau senang saat membelaiku
kutebar wewangian ditubuhku agar mempesonamu tatkala bertemu

Mahabahku...
Kusiap bercumbu denganmu
melantunkan dzikir dan pujian akan kebesaranmu
bersujud dan meneteskan air mata sesal hanya untukmu
membelaimu dengan do'a-do'a

kekasihku ku mencintaimu...
tiada kata tercipta di dunia yang bisa menggambarkan
betapa indah dirimu

Selamat malam sayang...
Kubermalam denganmu melalui sujudku

Bisikan untuk Nayla

kuberjalan gontai menyusur aspal panas di bawah senja merah
suara mesin lalu lalang bagaikan pisau-pisau tajam menancapi kepalaku
mataku merah dan nafasku menghembuskan kelelahan
seakan takkan kuat lagi aku menderap kedepan
pundakku layaknya peraduan semua lelah
berat...

Tapi ada sesuatu yang memaksa kakiku tuk tetap melangkah
menghilangkan penat kerja sehari
jadikan keringat seakan tak percuma menguap

Nayla...
kau tungguku di sudut sana
menantiku menutup senja hari ini yang tak kunjung datang
menunggu tuk segera meneriakan namaku
berjingkrak kaki kecil sambil tertawa
dan menepukan tanganmu berulang kali menandakan kegirangan
tapi saat ini kau setia mengamati dibelakang jendela
menantikan sosok lusuhku datang tepat saat berbuka

Seribu langkah telah kuhitung, tinggal lima ratus lagi sebelum kusampai
Dan mulai tampak si pondok reot mulai menyalakan lampunya
tinggal seratus lagi dan adzanpun mulai terdengar
Alhamdulillah...kata perutku
sepuluh langkah lagi dan nampak si Nayla kecil menungguku didepan pintu
menantikan saat ritual penyambutan

Abiiiii......teriaknya sebagai pembukaan
kugendong dia
dan kubisikan

" Sayang...Abi buatkan susu ya? "

Tentang Air

kulihat kau berdiri di depanku menentang cahaya senja
bayangmu jatuh tepat didepanku
yang kemudian terangku tertutup bentuk tubuhmu
kuperhatikan kau semakin menunduk
kepalamu lesu dan pundakmu merasa tak sanggup lagi
kurasa beban yang kau usung begitu berat hingga kau lelah
yang akhirnya menetes juga kesedihan itu
begitu sedih hingga ku ikut terbasahi
hingga ku ikut menangis dan menambah volume telagaku
kian terisak dengan penyesalan yang sangat
kian melebam matamu membendung tumpahan
sedih...
kakimu semakin tak kuasa menyangga tubuh jangkungmu
dengan hati yang semakin redup
kau condongkan tubuh lemahmu
antara ya atau ya sajalah
kau satukan jasad tak berhatimu tenggelam dalam tubuhku
mencoba mendinginkan kesedihanmu
hingga koroner mengambil jasad kakumu
dari tubuh telagaku yang biru
terimakasih kau
yang telah membagi kesedihan denganku

Balada Perempuan Berlidah Separo

Apa yang bisa kita ucapkan, tatkala Parwati menentang peradaban!
“A’u a’ a’an er’enti er’uang alau ehalan i adang!” Teriaknya di medan yang penuh hewan
Dimana rantai terus berputar, dan yang kalah kan terkelepar
Dimana monyet-monyet melet mengeluarkan pelet !
Dan kodok-kodok berkung-kong ria di atas kursi berlapis busa

Parwati si gadis yang lugu ! Menunggu kehadiran sang ibu
Yang tak kunjung kembali dari mati, dan terus berharap dalam sepi

Pada suatu hari, parwati berteriak
“Awalah a’u yng ak isa e’aki e’u’pat e’ua e’i’ak a’i’anMu”
“e’azim’an e’a’daan yng i’ak azim an ener’awaan eainan idup!!!”
Apalah aku yang tak bisa memaki mengumpat semua ketidakadilanMu
melazimkan keadaan yang tak lazim dan menertawakan permainan hidup!!!
Sambil menangis parwati mengepalkan tangan dan menunduk lesu
diantara guyuran deras air hujan
Yang menyeret rambutnya turun mengguntai
Menutupi wajahnya yang biru karena pilu
Meratapi ibu dan kehidupanya yang tabu

Parwati si gadis yang lugu ! Hidup sendirian diantara belantara mesin,
Kelicikan, dan tipu daya

Tak ada yang menolong, tak juga bagong-bagong diatas ngijowantah
Meludahkan sedikit kekayaannya ke tanah, jika saja begitu……
Kan ia jilati ludah-ludah dengan tangis kegembiraan
Karena ternyata mereka perduli, walau hanya berupa ludah

Parwati berjalan menuju bagunan tua yang rusak di tengah ibu kota
Bangunan tua yang sekaligus tempat tinggalnya bersama rekan-rekan sejawat
Pengemis, pelacur, anak-anak gelandangan, pengamen, preman jalanan
Kian memadati populitasnya dan tinggal di satu atap Mereka namakan“ Rumah Persinggahan “
“ Parwati….par..” terdengar suara lirih dari gadis kecil yang kumal
Melengok mencoba memandang wajah parwati
Yang sedang menunduk melipat kaki tak kuasa tuk berdiri
“ Par…ada apa par? Tersenyumlah. Par…” Tanya bocah mencari tahu. Tiba-tiba……
“ Celeng… kemari kau!!! Dasar goblok, jangan kau dekat-dekat dengan orang idiot macam dia.
bisa ketularan kau nanti. Kesini cepat!!! “ teriak induk semang geram tak kepalang
si bocah mangerutkan alis sambil menangis seraya melangkah tertunduk mendekati sang induk
parwati mengangkat sedikit kepalanya sambil melirik melihat si celeng kian mengecil dan menjauh.

Parwati si gadis yang lugu ! Hidup diantara asu dan babu nafsu!
Yang tak tau dan tak mau tau apapun maumu!

Malam makin kelam par……
Tapi kau masih saja melihat anjing-anjing berkeliaran
Sambil menggerombol memegang botol
Dan terbahak-bahak menegak minuman galak
Tak lama hujan pun jatuh menangis lagi
Sedemikian sedihnya hingga atap berselaput seng bergenderang
Mendendangkan lagu peradaban kejang!!!
Kejang karena tak lagi beradab

Parwati si gadis yang lugu! Mengigil, lapar, dan haus
Meringkuk menahan dingin berselimut kardus kluwus

Par…Angin malam ini sangatlah dingin
Apakah tak ada yang membawakanmu selimut
Menjaga kehangatan tubuhmu agar tak mengigil kedinginan
Karna bayu kian kencang merasuk tulang menggoncang sendimu yang lemah
Bahkan gemertak gigil gigimu kian merancak suasana
Suasana yang kau anggap biasa karena tak lagi kuasa

Parwati si gadis yang lugu ! hidup tak menentu tanpa ibu
Karena murka tuhan di ujung banyu biru

Malam semakin larut dan parwati semakin hanyut dalam mimpi
Hingga deras tadi tak ada lagi
Yang terdengar hanya sisa air yang menetes di kubangan
Semua mati…
Bahkan anjing-anjing gila tak lagi terdengar suaranya
Yang ada hanya lomba ngorok yang mengalahkan suara kodok
Saling meliurkan kelelahan di rumah persinggahan
Tangis bumi hari ini cukup sudah
Melepas lelah hamba yang resah

Parwati…oh….parwati! engkau bayangkan surga di tengah dunia
Mengharapkan luka di balut suka malah terluka dan menderita

Mimpimu tak pernah indah
Tiap malam pipimu terbasahi air mata pilu
Seiring suara deru yang terus menghantui bahkan ke alam mimpi
Seakan masih tampak jelas ketika bunda terhanyut di depan mata
Dan kau menyangkutkan diri di pohon tinggi
Seakan ingin meraih tangan yang semakin menjauh
Hilang terseret arus bersama ribuan badan tak berdaya
Kau paksa pandangmu sampai membesarkan retina
Tapi sayang bunda tak lagi kau sua
Kaupun lemas tak kuasa menahan lara
Mengerang sedih menggigit lidah
Hingga tak terasa berlinang darah

parwati…oh…parwati

tragis….
Sakit…..
Terlupakan….
Nasib tersirat
Air muncrat
Mayat kaku mengkangkang
Membusuk hingga ribuan
Bersarang bersama di satu liang
Karena tak rapi bergelimpangan di jalan

parwati
kau hidup sendiri
ngeri……
tapi itu yang terjadi
berpijak kaki tak tau kemana berlari
terkurung dalam tempurung hidup
tak maju
tak mundur
ngambang…
di tengah kalah
di pinggir pun kalah
apalagi di depan
ancur….

Klise memang
Tapi apa peduliku
Apa pedulimu
Kita ketemu para parwati di jalan pun
Kita mlengos
Ratusan ribu di dompet
Seratuspun tak mrongos

Berkabung aku dalam matimu
Ku baca koran pagi
Parwati mati
Mengambang di ciliwung
Wajah lebam mulai menghitam
Membusuk berbau bangkai
Baju robek
Pelipis robek
“V” pun ikut robek
Dimangsa anjing-anjing gila
Yang suka meliur
Membuang hajat di sembarang tempat
Mengendus-endus berbau arak
Bertato ibu telanjang
Anjing-anjing bertato ditangkap anjing-anjing berpangkat
Seru sekali,
saling menggonggong
saling menggigit
saling mengeluarkan cakar
anjing bertatopun keok kaing-kaing
berdarah, digigit, dan diseret
lewati kandang anjing-anjing lain
yang menatap garang penuh dendam

lalu parwati….
Kasihan
Dia kedinginan
Di ruang pendingin
Menanti tukang visum tak kunjung tiba
Kaku, ku kan kaku
Beku, ku ber beku
Satu, jadi seribu
Seperti aku
“Mati kaku”

Tak ada yang Abadi

Gemeretak gigil gigiku menggubah hening malam ini
kutidur telanjang...
meringkuk menahan sakit yang begitu sangat menghujam pelan di jantungku
mencoba merasakan dingin yang lebih dari dinginnya hatiku saat ini
menahan kesepian yang kian menghisap jiwaku
dan membuatku koma dari kehidupan nyata

jika saja detik berputar terbalik
dan masa memudakan saat
kan kujauhkan jauh dirimu dari pertemuanku
tuk kuhilangkan kisah cinta seratus masa ini
dan menanamkan kebencian yang sangat teruntuk hawa
dan menjadi pujangga suci hingga ujung waktu

tapi waktuku berjalan maju
dan takdir membawamu berada di bawah selimutku
tapi tak abadi bersama sampai kedalam kuburku
kau memilih terbang bersama para pesayap
menuju sinar putih ke alam firdaus
dan membiarkanku meringkuk sendiri di kegelapan fana
membuat retak secawan cinta perak yang dulu kita syahkan di hadap Tuhan

Tapi pergilah kasih...
aku enggan membuatmu menangis di surga
karena senyummu adalah hakekat hidupku
biarkan saja aku memeluk kehangatan kenangan ini
dan seolah membelai wajahmu dan menangis bersama

Selamat jalan sayang...
jangan khawatirkan cinta kita, kan kuabadikan hangat rasa ini hingga lahatku

Bukan Batu

Bukan batu yang berhati
bukan pula sengkala berwajah peri
tapi duri yang menumpulkan diri
takut membuat merah berdarah
seperti sobek dada sebelah
dan cabiki muka amarah
aku bukan batu
tapi aku membisu
seperti batu
bukan tak mau
tapi aku malu
mulutku bau

Kemudian...

Kuusap wajah tuamu yang keriput
dan membelai rambutmu yang mulai beruban
haru merasuk di hatiku ketika kubuat kau tertawa
kau meniadakan kesedihan di dunia dengan tawa polosmu yang tak bergigi
Kukecup pelan dahimu yang berbau pilis
dan membiarkan cinta ini menghangatkan seluruh ruangan

Kemudian...
Tawa itu kau bawa dalam pelukku
kudekap tubuh kurus itu dengan air mata
semenit berlalu dan akhirnya kaupun terdiam
dengan tersenyum kau tutup mata
seakan hangat cinta ini menenangkan jiwa seratus tahunmu

Bu...
kuterisak mengenang cintamu
kusesalkan saat kunaikan nada bicaraku
Kubodohkan diriku saat kau kuabaikan
dan kau tetap saja membuka pelukmu untukku
membelai rambutku kala kuterlukakan cinta

Selamat jalan sayang...
takkan kulepas dekapan terakhir ini sebelum kulelah
mengantar pijar cinta itu melayang kesurga

I luv you as no other luv in the world can compares

lelah

aku lelah
jasadku lap lip bermuka dua
jariku menegang
otakku membeku

aku lelah.....

lelah...

Keadilan Tutup Mata

Kututup mata tak ingin liat dunia
Kudengar dia mematok palu
Tapi tak pernah kulihat sendiri peradilan
Kuberdiri dibelakang hakim memegang timbangan
Kucoba seimbangkan tapi kenapa selalu berat sebelah

Mukaku selalu basah dan bau
Kena semprot kanan kiri
Menyampaikan kebenaran argumennya
hingga mulut berbuih terlalu bersemangat
kebenaran adalah yang dibela meski salah
Salah adalah yang dituduhkan meski benar

Lalu apalah bedanya benar dan salah
Jika sama-sama di bui
Bersandar dinding berlumutkan penyesalan
Dan tulisan angka hari di dinding menanti pembebasan

Kenapa tak hancurkan saja aku!
Ganti saja dengan patung orang berdasi
Yang memegang koper di tangan kiri dan segepok uang mengulur di tangan kanan
Aku yakin peradilan akan menjadi salah satu omset Negara terbesar di atas BUMN
Bisnis yang aku yakin menguntungkan

Kisah Penyair Gila

Ketika kutanya tentang syair puisi
dia hanya menyembulkan cengir di sebelah bibir
kutanya kenapa...
jawabnya realitas adalah kenyataan
dan bukan rangkaian kata-kata rumit bermakna entah
realitas adalah cerita
realitas adalah narasi yang jelas dan bukan diksi yang berulang
Kusanggah bukankah puisi adalah bahasa....
Dia mengerutkan alis tebalnya

Kubilang...
Puisi adalah tawa
dia menyelimutimu hangat ketika kau sedang menangis
dan membuatmu tertawa kecil tatkala syair menyeratkan cintamu diatas kertas

Puisi adalah kegilaan
yang membuatmu edan dengan kata baru dan pemaknaan cantik

Kukatakan...
Aku adalah penyair gila
yang melantunkan kata dan tertawa-tawa

Dia semakin mengerutkan alisnya dan beranjak pergi
Dasar Gila...

sense of lost

Aku duduk di bawah lentera taman di sebuah bangku panjang
yang mulai basah karena embun di temaram kabut pekat
tak ada sosok yang terlihat
hanya kabut putih yang mulai membasahi mataku
tangan dan kakiku terbujur lemas tak ada daya untuk menggenggam dan berpijak
ingin sekali kulubangi tempurung kepalaku dan mengambil bagian yang mulai menghitam dan mengeras
yang membuatku bodoh karena hati ini tak ada rasa
seperti waktu ku lepaskan kau saat ini
sentuhan terakhir ujung jariku di saat hari terakhir di bulan ini
ku membatu
tak kusangka kau terlepas dari pelukanku
sayapmu merekah dan terbang menjauh dari hariku
tolong jangan tinggalkanku sekarang
disaat aku sadar bahwa kehilanganmu akan membuatku sangat terluka
maaf..atas kesia-siaan yang kuberikan
tolong jangan membuatku semakin menangis dan kedinginan malam ini
karena aku takkan pernah tau apakah aku bisa bertemu denganmu lagi
karena aku hanyalah manusia yang takkan hidup abadi
tolong putarkan waktu untukku..
dan kembalikan aku ke awal Ramadhan
aku kucintai bulan ini seperti tak ada waktu lagi untuk bulan esok
kan kumanfaatkan setiap detik yang berlalu
untuk menciptakan sayapku sendiri dengan dzikir2 yang aku lantunkan untukMu
Tolong kembalikan Ramadhan untukku....

Kala Kudiam

ku sendiri diantara keramaian
ku berucap dengan hati dan tidak menyia-nyiakan mulut
ku istimewa diantara hujan cerca
Dan tetap memijarkan hati dengan senyum
Walaupun gelap aura mereka mematikanku perlahan

Salahkah jika aku diam
mendoakan mereka di relung terdalam
Dan menggubah tangisku dengan senyum
Dan keterhinaan ini dengan helaan nafas panjang
Mengubah ketidak-wajaran menjadi wajar
dan kenyataan menjadi sandiwara lewati saat

Jiwaku terperangkap jasad
Pikiranku tertutup tempurung
hingga ku tak bisa terbang bebas
dan aku jadi aku dan bukan jadi kau bukan mereka
Aku dengan aku yang saling pahami

Salahkan aku jika ku pendiam
tapi kutetap warna kan tapakku
dan bukakan jendela mataku
karena kutercipta untuk memaikan peran
da kan kujalani peran ini hingga lampu dimatikan

Lain Dunia

kuringkuk di temeram selaput bening
mendengar genderang tabuh jantung
dan melodi aliran pembuluh vena

sesaat kudengar mereka menyebut namaku
salah satu dari mereka yang kuberada didalamnya
membelaiku pelan dan memanggilku dengan penuh asa dan cinta

sesaat berlalu...
nuansa cinta itu bertaut dengan amarah
nada tinggi yang mengocakkan ketubanku
membuatku gerah dan marah memukul dinding perutnya
yang membuatku menyesal dia jadi korban dua amarah

Dia melindungiku dengan getam dari keterpaksan yang menghimpitnya
seolah dia didoktrin membunuhku bukanlah suatu dosa
dan membuatku tetap suci karena tak pernah terlahir kedunia
takkan pernah merasakan sakitnya lidah para makhluk
yang kelak kan menamaiku si haram

tapi dinding itupun runtuh juga
dan hak hidupkupun kan terampas seiring detik berlalu
hak untuk bercinta
hak untuk berkeringat
hak untuk menangis
hak untuk dipeluk
hak untuk dikasihi
hak untuk meneriakkan kebenaran
hak untuk mati di usia tua

Gelap...
aku rasa segment itu telah terjadi
dan aku telah kalah

tapi sayup aku dengar getir sebuah tangis diantara kegelapan
suara yang sangat aku kenal
menjatuhkan tangis akan kerinduan yang belum sempat terjadi
merasa kalah akan kesalahan yang berlalu

ku rasakan kecupan terakhir itu
sebelum tanah menutupi jasadku abadi

Cupid pun menangis..

Kau berdiri terpaku
Bayangmu semakin menjauh dan menghilang diantara gelap
sengau tampak tersedak melagu diantara tangis
tertawa hambar tutupi ego yang semakin merundung
tampak sakit kian kencang ikatan yang melilit hatinya yang mulai berdarah
apa yang kau cari..
jujurlah padaku..
apakah belai tanganku belum cukup menghapus hitam air matamu
kecup bibirku belum cukupkah buatmu merekah engah
cinta kaudanku pun ciptakan pemenang ke dunia
tapi detik berjalan maju
dan sayappun mulai tumbuh dari balik ragamu
membawamu terbang tinggalkan kemayaan dan kekosongan
yang kau fikir khan terisikkan oleh bintang yang bertaburan diatas sana
biarlah kau terbang tetapkan langkahmu
ku kan tetap disini dengan pemenang hatiku

Resurection!

jari tengah kutengadahkan
sebagai kebangkitan si lemah
kaubuatku di bui terikat jeruji
perintahkanku maling susu buat anakku
dan rokok buat corong busukmu

kini kulepas dari lapas
pulang menuju keterhinaan pun pula cercaan
ke teriakan dan tudingan
ke kumpulan orang amuk
yang pukulkan stempel ke mukaku
bertuliskan "MALING"

aku hanyalah ibu yang kasihan
mendengar jeritan si kecil lapar

aku hanyalah seorang istri
coba amanahkan diri ke suami

yang ternyata telah pergi
mengenakkan kemaluan
dan bersendawa kekenyangan
dengan v lain yang lebih segar

Apa dayaku hanyalah PEREMPUAN!

Itu kata mereka
tapi bukan untukku!

Kugilas semua kegalauan
hidupku hanya untuk anakku

Maka biarkan kuberdiri
dan memaki hidup
lalu berjalan kembali

Terimakasih KARTINI.