Translate

Selasa, 23 Oktober 2012

Balada Perempuan Berlidah Separo

Apa yang bisa kita ucapkan, tatkala Parwati menentang peradaban!
“A’u a’ a’an er’enti er’uang alau ehalan i adang!” Teriaknya di medan yang penuh hewan
Dimana rantai terus berputar, dan yang kalah kan terkelepar
Dimana monyet-monyet melet mengeluarkan pelet !
Dan kodok-kodok berkung-kong ria di atas kursi berlapis busa

Parwati si gadis yang lugu ! Menunggu kehadiran sang ibu
Yang tak kunjung kembali dari mati, dan terus berharap dalam sepi

Pada suatu hari, parwati berteriak
“Awalah a’u yng ak isa e’aki e’u’pat e’ua e’i’ak a’i’anMu”
“e’azim’an e’a’daan yng i’ak azim an ener’awaan eainan idup!!!”
Apalah aku yang tak bisa memaki mengumpat semua ketidakadilanMu
melazimkan keadaan yang tak lazim dan menertawakan permainan hidup!!!
Sambil menangis parwati mengepalkan tangan dan menunduk lesu
diantara guyuran deras air hujan
Yang menyeret rambutnya turun mengguntai
Menutupi wajahnya yang biru karena pilu
Meratapi ibu dan kehidupanya yang tabu

Parwati si gadis yang lugu ! Hidup sendirian diantara belantara mesin,
Kelicikan, dan tipu daya

Tak ada yang menolong, tak juga bagong-bagong diatas ngijowantah
Meludahkan sedikit kekayaannya ke tanah, jika saja begitu……
Kan ia jilati ludah-ludah dengan tangis kegembiraan
Karena ternyata mereka perduli, walau hanya berupa ludah

Parwati berjalan menuju bagunan tua yang rusak di tengah ibu kota
Bangunan tua yang sekaligus tempat tinggalnya bersama rekan-rekan sejawat
Pengemis, pelacur, anak-anak gelandangan, pengamen, preman jalanan
Kian memadati populitasnya dan tinggal di satu atap Mereka namakan“ Rumah Persinggahan “
“ Parwati….par..” terdengar suara lirih dari gadis kecil yang kumal
Melengok mencoba memandang wajah parwati
Yang sedang menunduk melipat kaki tak kuasa tuk berdiri
“ Par…ada apa par? Tersenyumlah. Par…” Tanya bocah mencari tahu. Tiba-tiba……
“ Celeng… kemari kau!!! Dasar goblok, jangan kau dekat-dekat dengan orang idiot macam dia.
bisa ketularan kau nanti. Kesini cepat!!! “ teriak induk semang geram tak kepalang
si bocah mangerutkan alis sambil menangis seraya melangkah tertunduk mendekati sang induk
parwati mengangkat sedikit kepalanya sambil melirik melihat si celeng kian mengecil dan menjauh.

Parwati si gadis yang lugu ! Hidup diantara asu dan babu nafsu!
Yang tak tau dan tak mau tau apapun maumu!

Malam makin kelam par……
Tapi kau masih saja melihat anjing-anjing berkeliaran
Sambil menggerombol memegang botol
Dan terbahak-bahak menegak minuman galak
Tak lama hujan pun jatuh menangis lagi
Sedemikian sedihnya hingga atap berselaput seng bergenderang
Mendendangkan lagu peradaban kejang!!!
Kejang karena tak lagi beradab

Parwati si gadis yang lugu! Mengigil, lapar, dan haus
Meringkuk menahan dingin berselimut kardus kluwus

Par…Angin malam ini sangatlah dingin
Apakah tak ada yang membawakanmu selimut
Menjaga kehangatan tubuhmu agar tak mengigil kedinginan
Karna bayu kian kencang merasuk tulang menggoncang sendimu yang lemah
Bahkan gemertak gigil gigimu kian merancak suasana
Suasana yang kau anggap biasa karena tak lagi kuasa

Parwati si gadis yang lugu ! hidup tak menentu tanpa ibu
Karena murka tuhan di ujung banyu biru

Malam semakin larut dan parwati semakin hanyut dalam mimpi
Hingga deras tadi tak ada lagi
Yang terdengar hanya sisa air yang menetes di kubangan
Semua mati…
Bahkan anjing-anjing gila tak lagi terdengar suaranya
Yang ada hanya lomba ngorok yang mengalahkan suara kodok
Saling meliurkan kelelahan di rumah persinggahan
Tangis bumi hari ini cukup sudah
Melepas lelah hamba yang resah

Parwati…oh….parwati! engkau bayangkan surga di tengah dunia
Mengharapkan luka di balut suka malah terluka dan menderita

Mimpimu tak pernah indah
Tiap malam pipimu terbasahi air mata pilu
Seiring suara deru yang terus menghantui bahkan ke alam mimpi
Seakan masih tampak jelas ketika bunda terhanyut di depan mata
Dan kau menyangkutkan diri di pohon tinggi
Seakan ingin meraih tangan yang semakin menjauh
Hilang terseret arus bersama ribuan badan tak berdaya
Kau paksa pandangmu sampai membesarkan retina
Tapi sayang bunda tak lagi kau sua
Kaupun lemas tak kuasa menahan lara
Mengerang sedih menggigit lidah
Hingga tak terasa berlinang darah

parwati…oh…parwati

tragis….
Sakit…..
Terlupakan….
Nasib tersirat
Air muncrat
Mayat kaku mengkangkang
Membusuk hingga ribuan
Bersarang bersama di satu liang
Karena tak rapi bergelimpangan di jalan

parwati
kau hidup sendiri
ngeri……
tapi itu yang terjadi
berpijak kaki tak tau kemana berlari
terkurung dalam tempurung hidup
tak maju
tak mundur
ngambang…
di tengah kalah
di pinggir pun kalah
apalagi di depan
ancur….

Klise memang
Tapi apa peduliku
Apa pedulimu
Kita ketemu para parwati di jalan pun
Kita mlengos
Ratusan ribu di dompet
Seratuspun tak mrongos

Berkabung aku dalam matimu
Ku baca koran pagi
Parwati mati
Mengambang di ciliwung
Wajah lebam mulai menghitam
Membusuk berbau bangkai
Baju robek
Pelipis robek
“V” pun ikut robek
Dimangsa anjing-anjing gila
Yang suka meliur
Membuang hajat di sembarang tempat
Mengendus-endus berbau arak
Bertato ibu telanjang
Anjing-anjing bertato ditangkap anjing-anjing berpangkat
Seru sekali,
saling menggonggong
saling menggigit
saling mengeluarkan cakar
anjing bertatopun keok kaing-kaing
berdarah, digigit, dan diseret
lewati kandang anjing-anjing lain
yang menatap garang penuh dendam

lalu parwati….
Kasihan
Dia kedinginan
Di ruang pendingin
Menanti tukang visum tak kunjung tiba
Kaku, ku kan kaku
Beku, ku ber beku
Satu, jadi seribu
Seperti aku
“Mati kaku”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar